Kambing Hitam
By. M. Ishak Zainal
TERNYATA kita kadang kehilangan nilai kemanusiaan. Kita sendiri menggali lubang lalu menceburkan diri ke lembah nista. Kita membangun pondasi diri dalam kebiasaan, selanjutnya membentuk karakter kita. Kemanusiaan pun kita surut, namun jarang kita rasakan, sebab kita kadang hanya berbicara berdasarkan muatan kepentingan egoisme kita semata. Sumber penyabab semuat itu ternyata adalah jabatan politis yang selalu saja kita incar. Kita menjadikan jabatan politis, jabatan public seakan adalah menjadi milik kita.
Kita melupakan, bahwa justru itulah yangmenghisap nilai-nilai kebahagiaan kita di sekeliling kita, yang menimbulkan keresahan dan petaka hidup. Ketika jabatan politis telah kita rengkuh, ia memusat lalu menjadi milik pribadi bahkan hanya milik keluarga. Bahkan kita membangun dinasti dan jaringan laba-laba kekuasaan.
Khalil Gibran pernah bertanya tentang itu. “Apakah engkau ahli politik yang berkata dalam hati: Aku akan memanfaatkan negaraku bagi kepentinganku sendiri? Jika demikian, engkau adalah benalu yang hidup pada daging orang lain.
Memang, jabatan politis adalah salah satu pilihan dalam peta sandiwara dan catur politik kita keseharian. Namun, daya magnet jabatan itu telah menghisap egoisme pribadi hingga melupakan sisi yang mendasar dalam hidup, bahwa kita dianugerahkan nilai-nilai kemanusiaan bahkan sifat kenabian. Namun, kita pun kadang menepis semua itu karena telah beralih ke dotrin-dotrin politik. Dunia politik adalah dunia kotor. Memangsa atau dimangsa dalam pilihan politik. Bertahan dari jabatan dan menyerang lawan adalah pertahanan terbaik.
Kita pun segera berusaha menjaga jabatan politis kita nama baik. Bahkan dengan ketidakmampuan kita, kita melepaskan dengan mencari tumbal. Tumbal itulah bernama Kambing Hitam.
Dengan mudah pula, kita membalik kenyataan. Kita mencari kambing hitam dan memeliharanya dalam catur politik kita sebagai biang keladi.
***
Di lembaga universitas, kita mengajar agar yang dididik patuh, selalu menjaga etika. Kita menasihati agar selalu menghargai. Segudang nasihat dan petuah telontar di bibir kita. Namun di alam realitas, kita membalik realitas itu, tidak membumikan kata-kata kita dalam keteladanan.
Mungkin inilah yang disebut kemunafikan. Tapi adakah kosa kata kemunafikan dalam panggung politik kita. Apalagi para politikus-politikus ikut mencemari dunia kampus? Kita pasti menjawab itu adalah strategi, bukan kemunifikan, kemunafikan hanya ada pada agama. (Identitas November 1996)