Demonstrasi Itu Tutup Jalan Ya?
By M. Ishak Zainal
SEJUMLAH mahasiswa menutup jalan. Mereka memalang kendaraan mereka tepat di tengah jalan. Mereka pun membakar ban-ban bekas. Gumpalan asap membubung. Kendaraan umum tak bisa lewat di tengah panasnya sengatan matahari. Para mahasiswa dengan semangat berapi-api meneriakkan protes. Mereka dengan fasihnya berpidato tentang kesewenang-wenangan para penguasa.
Rakyat bukannya bangga, atau ikut mendukung. Malah mereka mengeluhkan sikap segolongan yang mengaku intelektual muda. Bahkan ada yang mengumpat habis. Mengapa? Di deretan penumpang itu, ternyada ada Pasien yang butuh pertolongan darurat. Mereka butuh perawatan di unit gawat darurat (UGD), sementara yang lainnya terpaksa berjalan kaki berkilometer, yang lainnya harus bersabar karena terlambat menuju bandara.
Apakah mereka yang menutup jalan itu tengah demonstrasi atau melakukan penindasan baru? Pasalnya, nyaris setiap berdemontrasi dengan mengusung isu lokal, mereka menutup jalan, penindasan pun makin berlapis, ditindas para penguasa, selanjutnya ditindas lagi para penentang kekuasaan.
Pada awalnya, kita memaklumi bahwa dengan tutup jalan adalah upaya menarik perhatian publik. Namum belakangan, gerakan tutup jalan ini menjadi sebuah kebiasaan malah menjadi tradisi buruk bagi gerakan demonstrasi. Ini menjadi persoalan kemudian, karena seakan intelektual muda itu kehabisan daya pikat, kreasi atau ide-ide brillian untuk menarik perhatian publik.
Di sinilah tampaknya kita perlu mempertegas kembali pemahaman tentang demonstrasi. Demonstrasi itu adalah salah satu cara, metode, sarana bukan tujuan. Banyak cara untuk mencapai tujuang.
Kadang di tengah seminar serius para pejabat, sekelompok mahasiswa diam-diam membentangkan spanduk protes secara tiba-tiba. Kadang-kadang harus berulah untuk menarik perhatian para pencari berita. Bahkan berbagai aktraksi terpaksa mereka lakonkan untuk mendapat perhatian serius. Jadi tutup jalan itu bukannya solusi, tetapi menjadi polusi dalam gerakan. Kecuali isu yanga diemban itu berskala penting dan berskala besar, tentu tak ada jalan lain kecuali harus tutup jalan, demi menarik perhatian dan dukungan rakyat.
Kesalahan memilih cara aksi kadang tidak mencapai tujuan demonstrasi itu. Niat dan tujuan baik, tetapi aksi yang dilakukan justru bertentangan dengan kepentingan umum, bukannya mendapat dukungan, malah mendapat cemohan.
Karena itulah, untuk menyuarakan suara rakyat, tidak harus dengan cara mengorbankan rakyat. Kita tidak ingin berpidato berapi-api, dengan tangan dikepal, mata merah penuh semangat, sementara rakyat buang muka lalu mengumpat kita diam-diam, karena tidak senang dengan cara kita. (Harian Fajar, 11 Juni 2001)