MENULIS DI KOTAK-WASIAT

Setiap dari kita seharusnya memiliki surat wasiat. Wasiat apa saja yang akan disampaikan untuk kehidupan ini. Wasiat kepada anak-anak cucu kita, kepada orang lain. Menulis wasiat adalah sesuatu yang berharga untuk kehidupan ini. Banyak dari kita telah menulis wasiat, karena mereka memahami bahwa usia mereka cukup terbatas. Dengan menulis wasiat, berarti mereka telah memperpanjang usia mereka. Meski tubuh mereka berada di alam kubur, namun ide-ide mereka tetap hidup. Apalagi wasiat mereka berguna sebagai nasehat yang ikut memperbaiki kehidupan kemanusiaan yang semakin hari nilainya semakin bergeser dan pudar. Mereka mungkin telah di alam kubur, namun mereka tetap menerima amal jariah, karena nasihat-nasihatnya. Investasikanlah nasehat Anda untuk kehidupan ini dan petiklah amalannya di akhirat. Karena itu, menulislah surat wasiat di mana saja, termasuk di kotak-wasiat ini. Tulisalah wasiat dan nasihat-nasihat Anda. Toh, tidak ada salahnya menulis nasehat, yang kelak juga menjadi sejarah dan catatan buat Anda sebagai penulis wasiat. Jika ingin mengirim tulisan wasiat, silahkan kirim ke ishakmakassar@yahoo.com Mungkin kami akan mengedit redaksinya. Mari berwasiat untuk kehidupan ini. Wassalam.


Represif (Penyerbuan Militer di Kampus UMI)

by M. Ishak Zainal

CUKUP disayangkan. Sayangnya, kita kadang lupa sejarah dan merenunginya bahwa mengedepankan penanganan senjata, penyerbuan menggunakan panser ke kampus hingga melakukan pembunuhan pada mahasiswa justru akan meningkatkan gelombang aksi

Sayangnya kita lupa pada sejarah, menengok dan merenunginya bahwa di negeri manapun bila segala tuntutan mahasiswa ditangani dengan represif justru akan meningkatkan gelombang aksi.

Sayangnya, kita tidak peka terhadap segala gejala dan keresahan di sekeliling kita. Dan sekali lagi, begitu memilukannya bila aksi kaum muda ditangani represif secara berlebihan. Inilah awalnya ironi suatu bangsa dan duka cita bagi negara.

Tragedi mahasiswa UMI ditengah pemimpin represif ini sungguh teramat sulit diungkip melalui tulisan. Ia hanya bisa digambarkan melakui imajinasi kata-kata. Setidaknya dibalik peristiwa itu, tergambar siapa yang mengorbankan siapa.
***
Mereka para mahasiswa dan mahasiswa di depan kampus mereka, berlari, mengelak, tergeletak bertahan dan mencari ruang perlindungan atas kejaran apara keamanan. Namun seakan tanah mereka tak bertuan lagi karena diserbu para aparat militer yang selama ini dianggap sebagai alat pengayom atau sebagai benteng perlindungan terhadap kebrutalan.

Maka, ada yang ditangkap ada yang menangkap. Ada poporan senjata dan ada yang dipopor. Ada yang terluka dan ada yang melukai. Ada gas air mata dan ada air mata pilu yang bercucuran. Ada yang mengejar dan ada yang mengejar.

Maka, ada yang terdesak dan ada yang mendesak, ada melompat terjun ke sungai dan ada yang diterjungkan ke sungai. Ada yang terpaksa dan ada yang memaksa. Ada yang selamat dan ada yang tak terselamatkan. Ada yang aman dan ada yang diamankan. Ada yang muncul dari sungai dan ada yang dimunculkan. Ada yang hilang dan ada yang dihilangkan. Ada yang tenggelam dan ada yang ditenggelamkan.

Maka ada yang mengapung dan ada yang diapungkan. Ada yang ada dan ada yang mengadakan. Ada yang dikomentari dan ada yang mengomentari. Ada yang ada dan ada yang selalu mengada-ada.

Ada yang meninggal dan ada yang ditinggalkan. Ada mayat dan ada yang diusung. Ada duka dan ada yang mendukai. Ada tangis dan ada yang ditangisi.

Maka, mahasiswa sedih, mahasiswa terluka, mahasiswa berduka, mahasiswa marah. Mereka merasa kehilangan rekan pemilik masa depan bangsanya. Solidaritas aksi berkibar, menyesalkan, mengecam dan mengutuk perlakuan mahasiswa yang tak manusiawi. Mahasiswa berang campur sedih. Mereka sedih tapi marah. Kemarahan mahasiswa bukan lagi tuntutan penurunan biaya tariff angkot, tapi penanganan aparat negara yang represif. Mereka mahasiswa mengutuk segala bentuk kekerasan.

Mahasiswa turun jalan, menggelar aksi duka, mengenang aksi luka. Kesedihan, kepiluan dan kemarahan seakan menyatukan dan mengingatkan romantisme aksi pergerakan kemahasiswaan. Mereka mengibarkan bendera yang sekian lama kusut. Bendera aksi solidaritas sesama mahasiswa. Mereka tak lagi dibatasi tembok-tembok atas nama universitas.

Mereka menantang garang, walau senjata perlawanan mereka adalah semangat, semangat menentang kekerasan dengan cara mereka sendiri. Mereka seakan tak peduli lagi siapa korbannya, apa akibatnya, siapa pelakunya. Mereka hanya mengecam segala bentuk kekerasan dengan cara mereka sendiri. (Penerbitan Kampus Unhas : Identitas April 1996)

Catatan. Tulisan ini adalah tulisan penulis sendiri, sebagai ungkapan duka atas rekan-rekan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia di Makassar.

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP